Tax Treaty
Tax treaty
adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka
meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak.
Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek
perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka. Penentuan aspek
perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam
tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar
yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi internasional di mana
setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun treaty-nya
masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara
internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan
dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Memahami treaty yang berlaku antara suatu negara
dengan negara lainnya, bisa dimulai dengan memahami prinsip-prinsip dasar
tersebut. Dalam kenyataannya, memahami suatu tax treaty tidaklah semudah
membalikkan telapak tangan. Bahasa yang digunakan, jumlah klausul yang cukup
banyak, pemahaman seseorang tentang dasar-dasar perpajakan dan berbagai sebab
lainnya merupakan hal yang dapat mempengaruhi kesulitan tersebut. Dengan
memahami prinsip-prinsip dasar dan prinsip umum yang berlaku dalam suatu
treaty, seseorang akan menjadi lebih mudah memahami suatu treaty yang secara
spesifik berlaku untuk negara tertentu.
Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah
kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan
perpajakan. Oleh sebab itu, di dalamnya selalu berisi klausul-klausul,
pasal-pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak
tertentu tertentu. Pasal-pasal atau ayat-ayat (article atau artikel) yang
terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi
empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian
yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan
penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal-hal lainnya.
Semua bagian itu cenderung lebih mudah dipahami
dari pada berbagai definisi, istilah dan pengertian yang sering disebutkan
dalam suatu tax treaty. Berbagai definisi, istilah dan pengertian inilah yang
menjadi lebih penting untuk dipahami setiap pihak khususnya berkaitan dengan
kepentingan dalam praktek bisnis sehari-hari.
Cakupan Tax
Treaty
Personal Scope
Pasal dan ayat ini mengatur tentang kepada siapa
sajakah ketentuan dalam treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Di sini
diatur ketentuan tentang siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha
dan entitas lainnya yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk
dari salah satu negara yang terikat perjanjian termasuk di dalamnya orang
pribadi, badan atau entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan
status kependudukan ganda (double residence).
Biasanya, di sini tidak diartikan lebih lanjut
definisi mengenai penduduk maupun perihal kependudukan ganda. Kedua hal
tersebut diatur dalam klausul lain yaitu dalam klausul tentang general
definitions dan tentang residence. Oleh karena itu, pengertian personal scope
berkaitan erat dengan pengertian-pengertian dalam dua klausul tersebut.
Taxes Covered
Di sini diatur tentang jenis-jenis pajak yang
perlakuannya menggunakan ketentuan dalam tax treaty yang bersangkutan. Jenis
pajak yang diatur di sini akan mengikuti ketentuan sesuai tax treaty dan
mengabaikan ketentuan internal yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa
hal, ketentuan suatu tax treaty memiliki kekuatan yang berada di atas sistem
perundang-undangan yang berlaku secara internal di dalam suatu negara.
Aturan dalam tax treaty hanya diberlakukan untuk
jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas pajak tidak langsung
seperti Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
tidak diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umumnya (general definitions),
diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan dengan definisi
persons (orang atau badan), national (negara atau kearganegaraan),
international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan usaha) dan
lain-lain.
Residence
Di sini diatur tentang dua hal yaitu definisi
penduduk (berkaitan dengan personal scope) serta tie breaker rule yaitu
ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak
dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk sebagaimana diatur dalam
paragraf pertama klausul ini adalah setiap orang pribadi atau badan yang
berdasarkan ketentuan internal suatu negara – seperti keberadaan, domisili,
tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab lain yang mempunyai karakteristik
yang sama – dapat dikenai pajak di negara tersebut. Dengan kata lain, penduduk
adalah Subjek Pajak dalam negeri suatu negara yang dikenai pajak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan lokal yang berlaku di negara tersebut.
Klausul ini juga menegaskan bahwa orang pribadi
atau badan tidak dapat langsung dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya
karena mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam
prakteknya, orang pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua
negara berdasarkan azas world wide income yang dianut. Hal ini bisa terjadi
karena setiap negara pada dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai
dengan versinya masing-masing.
Diperlakukan sebagai penduduk dari dua negara
sekaligus – dalam konteks pemajakan berganda – sama sekali bukan hal yang
menyenangkan. Pasalnya, orang pribadi atau perseroan yang bersangkutan dapat
dikenai pajak sesuai ketentuan pajak yang masing-masing berlaku di kedua negara
tersebut. Jika kedua negara sama-sama menganut prinsip world wide income, dapat
dibayangkan betapa berat beban pajak yang harus ditanggung oleh pihak yang bersangkutan.
Apabila kondisi seperti ini tetap dibiarkan, tentunya akan membawa dampak
negatif terhadap kelancaran investasi salah satu negara karena pihak tersebut
cenderung tidak berinvestasi guna menghindari beban pajak yang terlalu besar.
Menyadari efek-efek negatif tersebut, artikel
residence selanjutnya mengatur langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan
status kependudukan ganda yang sering disebut dengan tie breaker rule.
Tie breaker rule dibedakan menjadi dua yaitu yang
diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan untuk selain orang pribadi.
Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari penentuan permanent home
(tempat tinggal tetap), center of economic and social interests (pusat
kepentingan ekonomi dan sosial), habitual abode (tempat kebiasaan untuk
tinggal), national (kewarganegaraan) serta mutual agreement (perjanjian antar
otoritas perpajakan).
Langkah-langkah tersebut di atas secra berurutan
bersifat prioritas. Artinya, apabila dengan menggunakan ketentuan pertama
masalah kependudukan ganda telah bisa dipecahkan, maka langkah kedua dan
seterusnya tidak perlu digunakan lagi.
Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain
orang pribadi hanya ada satu ketentuan yaitu tempat di mana manajemennya
efektif berada.
Permanent Establishment
Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh
jangkauan suatu negara dalam mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber
dari negara tersebut.
Pada zaman sekarang, suatu usaha tidak hanya
dilakukan di negara sendiri. Di negara lain pun suatu pihak melakukan usaha.
Apabila usaha di negara lain itu – sebut saja negara X – ternyata berhasil,
adalah hal yang logis jika otoritas pajak di negara X ingin mengenakan pajak
atas penghasilan yang diterima.
Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentu
harus ada batas-batas atau aturan yang jelas hingga bisnis yang dilakukan –
yang sekaligus merupakan investasi di negara X – tetap dapat berjalan dengan
baik. Cerminan dari batas atau aturan tersebut adalah ketentuan tentan
permanent establishment atau bentuk usaha tetap (BUT).
Contoh-contoh dari BUT dapat dikategorikan
menjadi empat macam yaitu:
BUT Fasilitas
Fisik
BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah
diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik seperti
gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain-lain;
BUT Aktivitas
Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya
aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di
negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa
(seperti jasa konstruksi atau jasa-jasa lainnya). Lamanya time test yang
digunakan dapat berbeda-beda antara satu tax treaty dan tax treaty yang lain.
Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara;
BUT Asuransi
Timbulnya BUT asuransi ditandai dengan keadaan di
mana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di negara
lain;
BUT Keagenan
BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di
negara lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus
barang-barang dagang di negara lain.
Di dalam klausul ini juga ditentukan
kondisi-kondisi di mana BUT dianggap tidak muncul seperti dalam hal suatu
tempat yang hanya berfungsi untuk memajang barang-barang dagangan, tempat yang
hanya digunakan untuk pembelian barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan
sebagainya.
Entry Into
Force
Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya
sebuah tax treaty. Saat berlakunya tax treaty sangat tergantung dari selesainya
tahap-tahap pembentukannya. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dari penandatanganan
oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua
negara. Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan
pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi
ini selesai dilakukan maka tax treaty pun dapat diberlakukan.
Termination
Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya
sebuah tax treaty. Tax treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang
telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah
tax treaty dengan cara mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus
dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.
Minimalisasi
Pemajakan Berganda
Income from
Immovable Property
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan yang berasal dari harta tak bergerak termasuk penghasilan yang
bersumber dari pertanian atau sektor perhutanan. Di dalamnya diatur bahwa
negara tempat harta tak bergerak tersebut terletak juga dapat mengenakan pajak
atas penghasilan dari harta tersebut. Artikel ini tidak memberikan definisi
harta tak bergerak namun menegaskan bahwa definisi harta tak bergerak
disesuaikan dengan undang-undang domestik negara tempat harta tersebut
terletak.
Business
Profits
Klausul ini merupakan perluasan dari klausul
permanent establishment yang mengatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha
milik penduduk suatu negara yang bersumber dari negara treaty partner (negara
pasangan dalam tax treaty). Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner
mengenakan pajak, sangat tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu negara.
Laba usaha milik penduduk suatu negara pada dasarnya hanya dapat dikenakan
pajak di negara tersebut. Namun, apabila penduduk suatu negara mendapatkan
penghasilan di negara treaty partner melalui BUT-nya, maka negara treaty
partner tersebut berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima melalui
BUT itu.
Shipping,
Inland Waterways Transport and Air Transport
Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di
sungai dan danau) dan perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur
internasional. Perusahaan yang bergerak di bidang ini bisa memperoleh
penghasilan dari beberapa negara. Jika setiap negara mengenakan pajak atas laba
yang diterimanya maka perusahaan pelayaran atau penerbangan tersebut tentunya
akan menanggung beban pajak yang terlalu besar.
Dalam artikel ini umumnya diatur dua alternatif
pengenaan pajak. Alternatif pertama, memberikan hak pemajakan kepada negara
tempat di mana manajemen efektif berada. Alternatif kedua, sama dengan
alternatif pertama dengan pengecualian untuk penghasilan dari pengoperasian
kapal laut yang hak pemajakannya diberikan kepada kedua negara sekaligus.
Dividends
Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh
pemegang saham dari suatu perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak
atas penghasilan berupa dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas
dividen baik yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri maupun Wajib Pajak
luar negeri. Klausul dividends, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan
mengenai pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen. Dalam klausul ini
dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak
atas dividen tersebut. Selanjutnya, artikel ini juga menyatakan tentang tarif
pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang
dibedakan menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan
kepentingan semata-mata investasi) dan untuk dividen dari penyertaan langsung
(saham dengan kepentingan kontrol).
Pada setiap tax treaty, besar tarif tersebut
berbeda-beda namun umumnya lebih kecil dari tarif pajak domestik bagi dividen
yang berlaku di kedua negara. Definisi dari dividen – yang tidak diatur dalam
general definitions – juga diberikan dalam artikel ini.
Interest
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan bunga yang diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan
definisi tentang bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat bunga
berasal (treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak
berbeda dari artikel dividen, artikel bunga pun mengatur tentang tarif maksimal
pemotongan pajak untuk negara tempat dividen berasal.
Royalties
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan royalti yang diterima dari negara treaty partner. Tak berbeda dari
artikel dividen dan bunga, artikel royalti ini juga memberikan definisi royalti
di samping mengatur bahwa negara tempat royalti berasal dapat mengenakan pajak
sesuai dengan tarif maksimal yang disepakati.
Capital Gains
Artikel ini mengatur tentang penghasilan berupa
keuntungan pemindahtanganan harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya
mengatur bahwa negara tempat harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga
berhak untuk mengenakan pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel
ini adalah harta berupa perumahan dalam suatu kawasan real estate.
Independent
Personal Services
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan yang diterima orang pribadi yang bersumber dari negara treaty
partner sebagai imbalan dari jasa-jasa profesional yang diberikannya di negara
tersebut. Aturan ini pada dasarnya sejalan dengan aturan permanent
establishment dan business profits namun secara khusus ditujukan untuk orang
pribadi yang memberikan jasa-jasa profesional (seperti dokter, pengacara) untuk
dan atas namanya sendiri di negara treaty partner. Negara treaty partner tempat
jasa tersebut dilakukan dapat mengenakan pajak sepanjang orang pribadi tersebut
memiliki pangkalan tetap di sana atau berada di negara treaty partner melebihi
batas waktu yang disepakati bersama.
Dependent
Personal Services
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa
yang dilakukannya di negara lain dalam suatu hubungan kerja. Berbeda dari
pemberian jasa oleh independent personal yang dilakukan untuk dan atas namanya
sendiri, jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang dimaksud di sini merupakan
jasa yang dilakukan untuk dan atas nama pihak lain yang memiliki hubungan kerja
dengannya.
Di sini diatur bahwa negara tempat orang pribadi
tersebut bekerja dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterimanya.
Namun untuk mengenakan pajak tersebut ada beberapa syarat kumulatif yang
terlebih dahulu harus dipenuhi yaitu:
- Orang pribadi yang bersangkutan berada di
negara lain melebihi time test yang telah disepakati;
- Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi
tersebut dibayarkan oleh pemberi kerjanya
- Penghasilan tersebut tidak dibebankan kepada
BUT.
Directors’
Fees
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh direktur yang bekerja pada perusahaan yang
berada di negara lain (merupakan penduduk di negara tersebut). Dalam klausul
ini dinyatakan bahwa penghasilan yang diterima oleh direktur dalam kapasitasnya
yang murni sebagai seorang direktur dapat dikenai pajak di negara domisili
perusahaannya tanpa memandang jangka waktu keberadaannya di sana.
Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dari
prinsip pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur
dalam klausul dependent dan independent personal services yang menggunakan
syarat jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek pemajakan.
Namun demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan
tidak lagi murni sebagai seorang direktur maka pemajakan atas penghasilan
tersebut tidak lagi mengikuti ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek
pemajakannya disesuaikan dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur
tersebut. Jika direktur tersebut melakukan tugas-tugas manajerial misalnya,
maka aspek pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun
apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, maka aspek
pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent personal
services.
Artistes and
Sportsmen
Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan yang diterima oleh artis (entertainer) dan olahragawan (sportsmen)
dari negara lain. Prinsip pemajakan yang diatur dalam artikel ini adalah negara
tempat penghasilan tersebut bersumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oleh artis atau atlit. Prinsip ini juga berlaku meskipun
penghasilan tersebut tidak langsung dibayarkan kepada sang artis/atlit
(dibayarkan kepada pihak lain, contohnya agen). Termasuk dalam pengertian
entertainer dalam artikel ini antara lain yaitu artis televisi, artis radio
atau musisi. Sedangkan yang termasuk olahragawan antara lain adalah pemain
sepak bola, pemain golf, pemain tenis, pemain catur atau pemain bridge.
Pensions
Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang
diterima oleh pensiunan swasta. Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun
dikenai pajak di negara tempat di mana pekerjaan itu dahulunya dilakukan. Namun
sebagian besar tax treaty mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai pajak di
negara di mana yang bersangkutan menjadi penduduk pada saat pensiun.
Government
Service
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan
atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak
pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan
kepada negara di mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan
yang diterima oleh pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila pegawai
negeri atau pensiunan tersebut merupakan warga negara dari salah satu negara
dan sudah sejak awal menjadi penduduk di negara tersebut maka penghasilan yang
diterimanya hanya dikenakan pajak di sana.
Pencegahan
Penghindaran Pajak
Associated Enterprises
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan
atas pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi
antara pihak-pihak di kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada
kecenderungan di mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga
yang wajar. Harga wajar adalah harga yang terjadi antara dua pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak wajar
itu adalah terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara lainnya.
Hal ini dipandang sebagai suatu usaha untuk mengihindari pajak dari suatu
negara. Dalam kondisi demikian, kepada negara yang bersangkutan diberikan hak
untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian sehubungan dengan pergeseran laba
tersebut.
Exchange of
Information
Klausul ini mengatur tentang pertukaran informasi
antar otoritas pajak di kedua negara yang terikat dalam suatu tax treaty.
Dengan adanya pertukaran informasi, dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan
salah satu senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau
penggelapan pajak. Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
pertukaran informasi secara rutin dan pertukaran informasi berdasarkan
permintaan.
Ketentuan
Lain-Lain
Non
Discrimination
Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan
perpajakan yang diberikan oeh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan
warga negara. Suatu negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk
memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya dan untuk
mereka yang bukan warga negaranya. Perlakuan perpajakan yang sama ini
mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang bukan warga
negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban pajak yang lebih
berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari negara tersebut.
Perlakuan yang sama juga harus diberikan kepada mereka yang bukan merupakan
warga negara dari kedua negara yang terikat perjanjian.
Mutual
Agreement Procedure
Klausul ini mengatur tentang prosedur yang digunakan
oleh kedua negara untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan berbagai perbedaan
pandangan antara pembayar pajak dengan otoritas pajak mengenai kasus perpajakan
tertentu. Klausul ini dapat dipandang sebagai semacam sarana bagi para pembayar
pajak untuk “curhat” tentang suatu perlakuan perpajakan yang tidak
disetujuinya. Melalui ketentuan dalam klausul ini, otoritas perpajakan pun
memiliki sarana untuk memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari
perbedaan interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Namun
demikian, perlu diingat bahwa mutual agreement procedure tidak mencakup seluruh
klausul yang terdapat dalam sebuah tax treaty. Klausul-klausul yang dapat
menikmati ketentuan dalam mutual agreement antara lain adalah business profits,
related persons dan royalty.
Member of
Diplomatic Missions and Consular Posts
Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan
yang diberikan kepada anggota dari suatu misi diplomatik dan konsulat. Dalam
kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima oleh anggota suatu
korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak di negara di
mana mereka berasal. Ketentuan dalam klausul ini pun mengatur hal yang sama.
Jadi, meskipun anggota korps diplomatik atau konsulat mendapatkan penghasilan
yang bersumber dari negara di mana mereka bertugas, negara tersebut tidak dapat
mengenakan pajak atasnya.
Sumber
: Indonesia Tax Review Volume III Edisi 27
Komentar:
Tax treaty muncul karena dua sebab yang mendasar
yaitu, keinginan untuk menghindari pemajakan berganda yang bisa berakibat buruk
bagi dunia investasi, dan keinginan untuk mencegah usaha-usaha penghindaran
pajak yang dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak suatu negara.
Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara
lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat
negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, secara
umum setiap tax treaty mengikuti prinsip-prinsip dasar dari model-model tax
treaty yang ada seperti model OECD atau model PBB, yang dijadikan sebagai acuan
pada saat pembuatannya. Memahami prinsip-prinsip dasar tersebut akan memudahkan
setiap pihak dalam memahami berbagai tax treaty yang ada, antara berbagai
negara umumnya dan antara Indonesia dengan negara-negara lain khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar