Senin, 11 Maret 2013

Tulisan Individu 1 "Akuntansi Internasional"



KONDISI EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL DALAM KRISIS FINANSIAL GLOBAL


Meningkatnya hubungan interdepensi antar negara-negara di dunia tidak dipungkiri sewaktu-waktu dapat menimbulkan suatu masalah baru, seperti timbulnya krisis ekonomi maupun finansial secara global. Musibah krisis global ekonomi dan finansial dewasa ini membuat semua pihak baik pemerintah, dunia usaha, pelaku ekonomi dan masyarakat luas merasa ketar-ketir. Seperti krisis finansial yang baru-baru ini menimpa Amerika Serikat pada tahun 2008 dan negara-negara di kawasan Eropa Barat terutama yang tergabung dalam organisasi supra-nasional Uni Eropa yang mencapai puncaknya di tahun 2011 (http://ec.europa.eu, 2012). Namun jauh sebelum krisis finansial global yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa Barat, krisis finansial global sebenarnya sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu, salah satunya adalah peristiwa krisis finansial global yang terjadi paska runtuhnya tahun Bretton Wood system di tahun 1970an (Pauly, 2008: 242).
Krisis finansial yang terjadi tahun 1970-an berangkat dari berakhirnya Perang Dunia II tahun 1945 dimana Amerika Serikat dan aliansinya mulai mempromosikan suatu kondisi interdependensi ekonomi antar negara-negara di dunia. Namun, pada tahun 1970an, meskipun kondisi interdependensi ini dinilai berhasil dimana ditandai dengan barang dan jasa yang mulai banyak diproduksi secara massal, terdapat kelemahan tersendiri dari kondisi interdependensi ekonomi yaitu memunculkan krisis finansial yang memiliki dampak global. Dan bersamaan dengan krisis finansial tersebut terjadi sebuah fenomena baru yaitu runtuhnya sistem Bretton Wood yang berdampak pada berubahnya tatanan sistem finansial dan moneter internasional serta memunculkan liberalisasi pasar kapital di seluruh dunia (Pauly, 2008: 242).
Krisis finansial sendiri terjadi karena likuiditas yang cepat menguap, uang yang tersedia ditarik dari bank, serta memaksa bank untuk menjual investasi lain untuk menebus kekurangan dan menghindari kebangkrutan. Tidak hanya itu saja, terjadinya krisis finansial diawali dengan perubahan tajam pada harga barang-barang pokok yang berdampak pada sistem moneter internasional. Ekspektasi dari para pemain di pasar finansial pun berubah. Mereka menjual aset-aset yang akan menurun nilainya dan membeli aset-aset yang lainnya yang akan meningkat nilainya. Krisis finansial juga dapat terjadi akibat ketidakpastian mengenai sistem moneter dan finansial ekonomi dunia yang sewaktu-waktu dapat berubah dengan cepat (Pauly, 2008: 247). Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya krisis finansial global pun tidak dapat dihindari seperti pengangguran, meningkatnya pajak, keputusasaan, meningkatnya kriminalitas, dll (Pauly, 2008: 252).
Dari tahun 1940-an hingga tahun 1970-an, krisis mata uang juga melibatkan negara-negara industri yang sudah maju dalam sistem perekonomian internasional dan memaksa adanya penyesuaian nilai tukar mata uang. Krisis perbankan juga terjadi di masing-masing negara di dunia. Namun dampak dari pembatasan terhadap pergerakan modal internasional tidak sampai menyentuh ranah global. Baru pada tahun 1974, kegagalan dari Bank Jerman yaitu Bankhaus I.D Herstatt dalam mengatur penyesuaian nilai tukar mata uang memiliki dampak global dimana Franklin National Bank of New York juga terkena dampak dari kegagalan Bank Jerman tersebut (Pauly, 2008: 251).
Krisis finansial global yang terjadi tidak hanya berhenti di tahun 1970-an saja, di tahun 1980-an, krisis finansial muncul terutama di pasar negara-negara berkembang yang baru muncul. Krisis finansial global ini sendiri memicu adanya perubahan konteks global dalam sistem finansial dan moneter internasional dimana  bank-bank yang berbasis di negara-negara industri yang maju dengan cepat memperluas operasi pinjaman internasional mereka sepanjang tahun 1970-an, perusahaan multinasional mendiversifikasi kegiatan investasi mereka, dan investor di negara-negara maju secara bertahap memperluas kepentingan dan kapasitas untuk membeli obligasi dan instrumen keuangan lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah dan perusahaan di negara-negara berkembang. Dan juga beberapa capital flows yang terkait adalah yang terkait dengan perdagangan, investasi, dll mulai mengglobal (Pauly, 2008: 251).
Setidaknya Louis Pauly membagi empat perubahan besar dalam ekonomi politik internasional di tengah krisis finansial global, diantaranya adalah (1) pergerakan yang mengarah ke keterbukaan keuangan di negara-negara berkembang dimana dari tahun 1970-an, terlebih lagi di akhir tahun tahun 1980-an dan di awal tahun 1990-an, negara-negara industri mulai menerapkan keterbukaan baik terkait dengan keterbukaan di bidang perdagangan maupun di bidang investasi (Pauly, 2008: 251). (2) Peluang dan biaya keterbukaan dimana pada prinsipnya aliran ke dalam dari modal swasta memungkinkan bagi ekonomi riil tumbuh lebih cepat daripada jika negara-negara di dunia hanya mengandalkan sumber daya domestik (dalam negeri) mereka sendiri. Dalam prakteknya, biaya tambahan yang terkait dengan krisis menyebabkan capital outflows, bank bailouts, kepercayaan diri yang hilang dari investor yang mana akan sesekali mengancam untuk merusak ekonomi riil, mengacaukan proses industrialisasi, dan mengganggu tatanan politik dan tatanan sosial dalam suatu negara. Dan salah satu cara untuk mencegah fenomena itu terjadi adalah salah satunya adalah kebanyakan negara-negara berkembang di dunia menerima peluang dan membuka keterbukaan ekonomi mereka dan menjalin kerjasama dengan negara-negara maju (Pauly, 2008: 252-253). (3) Reformasi kebijakan nasional dan konsekuensi sistem internasional. Krisis finansial Asia yang terjadi diakhir tahun 1990-an menjadi salah satu alasan utama negara-negara berkembang enggan menandatangani persetujuan untuk menganut ekonomi finansial terbuka paska jatuhnya Bretton Woods system di awal tahun 1970-an dan krisis finansial Asia tersebut menjadi salah satu alasan utama decision-maker di negara-negara berkembang ragu mengenai sistem ekonomi politik internasional yang baru dan didominasi oleh perusahaan swasta dan para investor asing yang berasal dari negara-negara yang kaya yang nantinya hanya akan merugikan dan menghambat kepentingan dari negara-negara berkembang tersebut (Pauly, 2008: 255). Dan (4) kedaulatan politik dan saling ketergantungan ekonomi. Peristiwa mengenai krisis finansial membuat negara sebagai supremasi politik tertinggi sebuah negara merasa perlu ikut andil dalam mencegah krisis finansial global tersebut agar tidak berdampak pada sistem perekonomian dalam negeri mereka. Di sisi lain, terutama di kawasan Eropa, negara-negara di kawasan Eropa tersebut membentuk Masyarakat Ekonomi Eropa untuk bersama-sama mencegah krisis finansial global tersebut (Pauly, 2008: 258). 


Daftar Pustaka
Pauly, Louis W. 2008. “The Political Economy of Global Financial Crises, dalam John Ravenhill, Global Political Economy, Oxford: Oxford University Press, pp. 241-272
Economic Crisis in Europe: Causes, Consequences and Responses. 2011. diakses dalam http://ec.europa.eu/economy_finance/publications/publication15887_en.pdf.




Dari review diatas mengenai kondisi ekonomi politik internasional di tengah krisis finansial penulis dapat menyimpulkan bahwa krisis finansial merupakan suatu fenomena dalam sistem finansial dan moneter internasional yang tidak dapat dihindari yang mana sewaktu-waktu dapat berdampak secara global dan menghambat laju pertumbuhan perekonomian dunia. Penyebab terjadinya krisis finansial pun bermacam-macam mulai dari perubahan tajam dari harga kebutuhan pokok dunia hingga ketidakstabilan dari sistem finansial dan moneter internasional itu sendiri. Dampak yang ditimbulkan dari terjadinya krisis finansial ini pun bermacam-macam, seperti, pengangguran, meningkatnya tingkat kriminalitas, dll. Menurut penulis, diperlukan adanya penanganan yang ekstra untuk mencegah krisis finansial itu sendiri, tidak cukup dengan dibentuknya instansi-instansi internasional seperti Bretton Woods system, tapi juga perlu adanya kesadaran dari pemerintah masing-masing negara baik negara berkembang maupun maju untuk bersama-sama menstabilkan kondisi finansial dan moneter internasional sehingga meredam terjadinya krisis finansial yang dampaknya bisa mengglobal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar