Kamis, 28 April 2011

Perjanjian

-Apa itu perjanjian-

Perjanjian atau kontrak adalah suatu peristiwa dimana seseorang atau satu pihak berjanji kepada seseorang atau pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengkibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua dua orang atau dua pihak terebut yang dinamakan perikatan.

Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antar dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.



- Macam - Macam Perjanjian-

Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
♫ Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
♫ Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
♫ Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
♫ Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.

3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
♫ Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
♫ Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
♫ Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.

4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
♫ Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
♫ Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
♫ Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.



-Syarat-syarat sahnya perjanjian-

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Demikianlah menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan “sepakat” atau juga dinamakan “perizinan” dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, “setuju” atau “seia sekata” mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh fihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap “orang yang sudah dewasa” atau akil balig” dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan

3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan “terikat” oleh perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaanya, orang tersebut harus seorang yang sungguh-sunguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya siberhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Akhirnya oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu “sebab yang halal”. Dengan “sebab” (bahasa Belanda “oorzaak”, bahasa Latin “causa”) ini dimaksudkan tiada lain dar pada isi perjanjian. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atas apa yang dicita-citakan seorang. Yang diperhatikan hukum atau undang-undang hanyalah tindakan-tindakan orang-orang dalam masyarakat.

Jadi, yang dimaksudkan dengan “sebab” atau “causa” suatu perjanjian adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri. Dalam suatu perjanjian jual-beli isi tadi adalah : Pihak satu menghendaki uang.

Diperbedakan antara syarat subyektif dan syarat obyektif. Dalam halnya suatu syarat obyektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”. Artinya: dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, yaitu melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu “null and void”.


-Apa yang membatalkan perjanjian-

Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang menikat mereka satu sama lain,telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan, karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.

Apabila pada waktu pembuata perjanjian, ada kekurangan mengenai syaratyang subyektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum,tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orangtua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.

Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari udut keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.

Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subyektifnya yang tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya.

Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subyektif, oleh undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu,bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan pembatalan.

Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik.

Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapadiadakan perjanjian itu.

Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaj memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik (tipu-muslihat), untuk membujuk pihak lawannya memberikan, perijinannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.

Terhadap azas konsesualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh Undang-Undang ditetapkan suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaries, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat, dinamakan perjanjain formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.





Sumber : google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar