Kamis, 01 November 2012
Tulisan Softskill 1 " Artikel GCG, IFRS, dan CSR"
ARTIKEL GCG
Transparency & Disclosure sebagai implementasi GCG
(Artikel ini telah dimuat di Majalah KSG, edisi 64, Januari 2012, hal 29-30, Rubrik “Budaya Perusahaan”)
Dalam era globalisasi saat ini, masalah keterbukaan dan pengungkapan (transparency & disclosure) yang merupakan salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG) sering mendapat soroton publik. Publik sangat memerlukan keterbukaan informasi, terutama bagi perusahaan yang sudah go public. Para pemegang saham maupun pemangku kepentingan lainnya memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang relevan secara tepat waktu, akurat dan berkesinambungan. Informasi biasanya dibedakan atas informasi keuangan dan non keuangan. Informasi keuangan yang utama terdapat pada laporan keuangan tahunan (annual report) dan laporan keuangan interm (interim report), biasanya berupa laporan tengah tahunan dan laporan triwulanan. Informasi non keuangan merupakan bagian tak terpisahkan dari informasi keuangan dan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah (value added) dari manfaat laporan keuangan. Informasi non keuangan difokuskan pada masalah pengungkapan (disclosure) risiko potensial (potential risk) yang dihadapi perusahaan saat ini serta alasan mengapa manajemen mengambil risiko tersebut.
Tujuan :
Terdapat 4 tujuan utama pengungkapan informasi keuangan dan non keuangan bagi perusahaan, yaitu :
1. Meningkatkan keterbukaan atau transparansi dalam pemberian informasi.
2. Mendukung proses implementasi GCG termasuk pelaporan kepada stakeholder.
3. Mengupayakan kualitas manajemen perusahaan yang lebih profesional.
4. Bagi eksternal auditor (auditor independen) dituntut lebih memahami analisis strategi dan risiko perusahaan secara keseluruhan.
Prinsip GCG tentang disclosure & transparency, menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat dilakukan terhadap semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan, mencakup kondisi keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan.
Dislosure Committee
Pada saat ini belum banyak perusahaan publik yang memiliki Komite Keterbukaan Informasi (KKI) atau disclosure committe, karena banyak perusahaan yang belum mengetahui arti pentingnya KKI dalam rangka menjamin akurasi terhadap seluruh informasi material yang akan dipublikasikan kepada publik. Perusahaan publik yang telah memiliki KKI atau disclosure committee, antara lain PT Indosat Tbk dan PT Telkom Tbk. PT Indosat telah membentuk KKI sejak pertengahan 2004. Tanggung jawab KKI di PT Indosat adalah menelaah tingkat materialitas informasi serta menjamin pengungkapan informasi (information disclosure) secara tepat waktu dan up to date. Sedangkan tugas utama KKI adalah mengelola proses pengungkapan informasi dan melakukan review untuk memastikan kepatuhan (compliance) seluruh aspek penting serta menjaga agar pengungkapan informasi tersebut tidak menyesatkan (bias) bagi para pengambil keputusan. Disclosure Committee di PT Telkom diketuai oleh Direktur Keuangan dengan tugas mengelola proses sertifikasi laporan keuangan dan menilai kecukupan informasi perusahaan yang akan diungkapkan kepada publik. KKI maupun disclosure committe dapat digunakan oleh perusahaan sebagai alat (tool) untuk melakukan filter atas informasi yang akan disampaikan kepada publik.
Regulasi
Pihak otoritas bursa (Bursa Efek Indonesia), Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) maupun Kementerian BUMN perlu mengatur secara tegas dan jelas masalah keterbukaan informasi perusahaan, sehingga terdapat acuan yang jelas bagi perusahaan untuk penyampaian informasi perusahaan kepada pihak luar sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas publik. Dalam hal ini, perlu diatur mana saja informasi yang dapat menjadi konsumsi publik dan mana informasi yang hanya untuk kalangan terbatas. Informasi atau Fakta Material yang diperkirakan dapat mempengaruhi harga Efek atau keputusan investasi pemodal, sesuai Peraturan Nomor X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi yang harus segera diumumkan kepada Publik yang merupakan Lampiran dari Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-86/PM/1996 tanggal 24 Januari 1996 tentang Keterbukaan Informasi yang harus segera diumumkan kepada Publik antara lain sebagai berikut:
a. Penggabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, atau pembentukan usaha patungan;
b. Pemecahan saham atau pembagian dividen saham;
c. Pendapatan dari dividen yang luar biasa sifatnya;
d. Perolehan atau kehilangan kontrak penting;
e. Produk atau penemuan baru yang berarti;
Akses Informasi
Pengungkapan informasi perusahaan seharusnya dilakukan secara berimbang. Artinya informasi yang disampaikan bukan hanya yang bersifat baik-baik saja (positif) namun termasuk informasi yang bersifat negatif. Hal ini menjadi penting, untuk menghindari adanya disinformasi, informasi yang bias serta informasi penting yang disembunyikan oleh perusahaan yang berakibat merugikan pihak lain, baik pemegang saham maupun pemangku kepentingan lainnya. Salah satu wujud penegakan prinsip GCG adalah membuka akses informasi kepada publik sesuai dengan koridor keterbukaan dan transaparansi informasi. Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat ikut memberikan andil munculnya suatu sistem pelaporan secara elektronik yang biasa e-reporting. Penggunaan e-reporting di berbagai bursa saham dunia sudah merupakan hal yang umum dalam rangka menjaga penyampaian informasi yang cepat, transparan dan up to date. Penyampaian informasi melalui e-reporting telah membantu percepatan keterbukaan informasi emiten secara lebih merata dan dapat menjangkau pemakai laporan yang lebih luas. Pada saat ini perusahaan swasta dan BUMN, baik yang sudah go public maupun yang belum go public sudah banyak yang memiliki website sendiri. Adanya website tersebut mempermudah akses pihak-pihak lain untuk memperoleh berbagai macam informasi yang relevan, termasuk informasi tentang keuangan perusahaan. Hal ini penting, mengingat beberapa waktu lalu, akses informasi tentang perusahaan, terutama perbankan, sangat tertutup. Bahkan beberapa saat sebelum terjadi penutupan atau likuidasi bank-bank nasional pada waktu krisis moneter tahun 1998/1999 yang lalu, masih diinformasikan bahwa bank-bank tersebut dalam kondisi baik (sehat) didasarkan atas hasil laporan audit dari auditor independen (eksternal auditor). Hal tersebut tentu saja sangat merugikan banyak pihak termasuk masyarakat (publik) dan pemerintah. Hal tersebut tentu saja sangat merugikan banyak pihak termasuk masyarakat (publik) dan pemerintah. Pada era informasi saat ini, sudah tidak zamannya lagi menutup-nutupi kebobrokan perusahaan (termasuk perbankan), dengan dalih masalah kerahasiaan laporan keuangan. Semoga semakin banyak perusahaan yang menyadari arti pentingnya transparency & disclosure sebagai salah satu implementasi prinsip-prinsip GCG.
Sumber : http://muhariefeffendi.wordpress.com
Di download pada hari Selasa, tanggal 16 Oktober 2012 jam19:06 WIB
ARTIKEL IFRS
IFRS…what’s that ??
Kenapa Indonesia harus beralih ke IFRS (International Financial Reporting Standard)? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan IFRS? Selama ini, dunia mengenal beberapa standar akuntansi. Amerika serikat, misalnya, yang skala perekonomiannya terbesar di dunia, masih memakai US GAAP (Unites Stated General Accepted Accounting Principles), juga FASB (Financial Accounting Standard Board). Negara-negara yang tergabung di Uni Eropa, termasuk Inggris, menggunakan International Accounting Standard (IAS) dan Internatioanl Accounting Standard Board (IASB). Indonesia setelah berkiblat ke Belanda, belakangan menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Mula-mula PSAK IAI berkiblat ke AS, dan nanti mulai 2012 beralih ke IFRS.
Munculnya IFRS tak bisa lepas dari perkembangan global, terutama yang terjadi pada pasar modal. Perkembangan teknologi informasi (TI) di lingkungan pasar yang terjadi begitu cepat dengan sendirinya berdampak pada banyak aspek di pasar modal, mulai dari model dan standar pelaporan keuangan, relativisme jarak dalam pergerakan modal, hingga ketersediaan jaringan informasi ke seluruh dunia.
Dengan kemajuan dan kecanggihan TI pasar modal jutaan atau bahkan miliaran investasi dapat dengan mudah masuk ke lantai pasar modal di seluruh penjuru dunia. Pergerakan mereka tak bisa dihalangi teritori negara. Perkembangan yang mengglobal seperti ini dengan sendirinya menuntut adanya satu standar akuntansi yang dibutuhkan baik oleh pasar modal atau lembaga yang memiliki agency problem.
Di tiap kawasan, penyusunan standar akuntansi selalu melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang. Di AS, misalnya pada awalnya standar akuntansi ditentukan oleh masing-masing manajemen perusahaan dengan pertimbangan yang membutuhkan standar tersebut memang pihak manajemen. Era berganti, standar kemudian ditentukan kalangan profesi yang tergabung dalam asosiasi. Pertimbangannya, pihak profesilah yang bertugas menyusun dan mengaudit laporan keuangan. Barulah, yang mutakhir, yang diacu adalah US-GAAP yang dibuat oleh FASB. Saat ini, terdapat dua kekuatan besar di bidang standar akuntansi, yaitu US-GAAP dan IFRS yang sebelumnya dikenal sebagai International Accounting Standars Committee (IASC).
IASC dibentuk pada 1973 oleh badan-badan atau asosiasi-asosiasi profesi dari negara-negara Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Belanda, dan Inggris. Komite ini kemudian menyepakati standar akuntansi internasional yang dikenal sebagai IAS. Inilah yang menajdi cikal bakal munculnya IFRS. Agency Problem adalah masalah jarak antara Principle dan agent yang dalam relasi membutuhkan jembatan antara pemilik dan buruh atau pekerja yang disebut agency relation, yaitu informasi. Informasi adalah berupa laporan tentang aset, resources, dan lainnya yang berhubungan dengan keadaan perusahaan yang dibuat oleh agent dan diserahkan kepada principles (pemilik). Biaya yang dikeluarkan untuk menjaga hubungan baik antara principles dan agent disebut agent cost. Fenomena inilah yang kemudian mendorong International Accounting Standard Boards (IASC) melakukan percepatan harmonisasi standar akuntansi internasional melalui apa yang disebut IFRS.
Sejarahnya pun cukup panjang dan berliku. Pada 1982, International Financial Accounting Standard (IFAC) mendorong IASC sebagai standar akuntansi global. Hal yang sama dilakukan Federasi Akuntan Eropa pada 1989. Pada 1995, negara-negara Uni Eropa menandatangani kesepakatan untuk menggunakan IAS. Setahun kemudian, US-SEC (Badan pengawas Pasar Modal AS) berinisiatif untuk mengikuti GAS. Pada 1998 jumlah anggota IFAC/IASC mencapai 140 badan/ asosiasi yang tersebar di 101 negara. Akhirnya, pertemuan menteri keuangan negara-negara yang tergabung dalam G-7 dan Dana Moneter Internasional pada 1999 menyepakati dilakukannya penguatan struktur keuangan dunia melalui IAS. Pada 2001, dibentuk IASB sebagai IASC. Tujuannya untuk melakukan konvergensi ke GAS dengan kualitas yang meliputi prinsip-prinsip laporan keuangan dengan standar tunggal yang transparan, bisa dipertanggungjawabkan, comparable, dan berguna bagi pasar modal. Pada 2001, IASC, IASB dan SIC mengadopsi IASB. Pada 2002, FASB dan IASB sepakat untuk melakukan konvergensi standar akuntansi US GAAP dan IFRS. Langkah itu untuk menjadikan kedua standar tersebut menjadi compatible.
Memang, hingga saat ini IFRS belum menjadi one global accounting standard. Namun standar ini telah digunakan oleh lebih dari 150-an negara, termasuk Jepang, China, Kanada dan 27 negara Uni eropa. Sedikitnya, 85 dari negara-negara tersebut telah mewajibkan laporan keuangan mereka menggunakan IFRS untuk semua perusahaan domestik atau perusahaan yang tercatat (listed). Bagi perusahaan yang go international atau yang memiliki partner dari Uni Eropa, Australia, Russia dan beberapa negara di Timur Tengah memang tidak ada pilihan lain selain menerapkan IFRS.
Proses yang panjang tersebut akhirnya menjadi apa yang disebut IFRS, yang merupakan suatu tata cara bagimana perusahaan menyususn laporan keuangannya berdasarkan standar yang bisa diterima secara global. Jika sebuah negara beralih ke IFRS, artinya negara tersebut sedang mengadopsi bahasa pelaporan keuangan global yang akan membuat perusahaan (bisnis) bisa dimengerti oleh pasar dunia. Namun, berlaih ke IFRS bukanlah sekedar pekerjaan mengganti angka-angka di laporan keuangan, tetapi mungkin akan mengubah pola pikir dan cara semua elemen di dalam perusahaan.
Sumber : Akuntan Indonesia, edisi no 17, Juni, 2009.
Sumber : http://hepiprayudi.wordpress.com
Di download pada hari Rabu tanggal 17 Oktober 2012 jam 14:10 WIB
ARTIKEL CSR
CSR Dalam Konteks Kebutuhan
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan mulai ramai diperbincangkan ketika diterbitkannya UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas.
Pada bab V Pasal 74 Ayat 1 UU itu disebutkan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Kemudian pada Ayat 2 disebutkan, tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
Dilanjutkan pada Ayat 3 bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagimana dimaksud pada Ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Pada ayat 4 disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah (PP).
Apabila mencermati kalimat-kalimat pada UU itu jelas sudah bahwa tanggung jawab sosial akan diatur lebih lanjut dengan PP, padahal hingga saat ini peraturan itu belum ada. Lalu bagaimana implementasinya di perusahaan? Perlu kita lihat pula penjelasan Pasal 74 UU tersebut, yakni pada Ayat 1 disebutkan, ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Sedangkan pada penjelasan Ayat 3 disebutkan, yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Melihat penjelasan tersebut, tanggung jawab sosial memang masih bisa menjadi perdebatan. Dilihat dari dasar implementasinya, misalnya yang dimaksud dengan dibiayakan dengan nilai yang patut itu berapa nilainya? Memang bagi BUMN sudah ada ketentuan dari kementerian yang menaunginya, tapi bagaimana dengan swasta murni?
Dalam kenyataannya banyak perusahaan yang belum memahami tentang tanggung jawab sosial (CSR) itu? Lantas bagaimana implementasinya, serta dasarnya apa ?
Kita mungkin harus mengawalinya dengan tahapan pendirian sebuah perusahaan atau perseroan. Apabila ingin mendirikan suatu badan usaha kita harus memenuhi beberapa persyaratan. Contohnya, sebelum membangun kita harus mengawalinya dengan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga wajib menyusun dokumen usaha kelola lingkungan dan usaha pemantauan lingkungan (UKL/UPL) atau rencana kelola lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL/RPL).
Sosialisasi gencar setelah melalui pengkajian yang melibatkan stakeholder, baik itu masyarakat sekitar, pemerintah terkait dan lain-lain, bila disepakati barulah dokumen itu disahkan oleh instansi pemerintah yang berwenang.
Dengan mencermati peraturan perundang-undangan, apakah masih ada peraturan lagi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah guna “memaksa” perseroan melaksanakan tanggung jawab sosialnya?
Sebenarnya, pemerintah sudah cukup memiliki dasar untuk melakukan bimbingan, pembinaan, ataupun evluasi pada perusahaan yang belum melaksanakan CSR sesuai dengan ketentuan. Penulis mengamati ada beberapa instansi pemerintah di Jawa Tengah yang gencar memberikan sosialisasi mengenai CSR, seperti dilakukan Dinas Sosial baru-baru ini.
Mereka mengundang beberapa perusahaan dan memfasilitasi untuk membentuk Corporate Forum for Community Development (CFCD) Chapter Jawa Tengah. Melalui forum ini, perseroan baik itu BUMN maupun swasta murni bisa saling berkomunikasi dalam rangka mengimplementasikan tanggung jawab sosial di perusahaan masing-masing.
Apabila kegiatan ini secara konsisten difasilitasi oleh pemerintah untuk disebarluaskan ke seluruh perusahaan maka tugas mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan yang dicanangkan pemprov akan terbantu.
Kesadaran akan arti penting kepedulian sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan lebih penting dikedepankan karena ada manfaat yang bisa dipetik oleh perusahaan sendiri.
Setyo adi P, Deputi SDM Yayasan Ambarawa Heritage, praktisi CSR, mahasiswa magister manajemen UKSW
Wacana Suara Merdeka 12 Mei 2010
Sumber : http://artikel-media.blogspot.com
Di download pada hari Rabu tanggal 17 Oktober 2012 jam 14:34
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar